DESA SEMANU, SOLID MENATAP PTSL

HR 13 November 2017 10:24:56 WIB

“Semanu siap Pak Bambang”. Kata Pak Andang Yunanto, Kepala Desa Semanu, mantap, saat saya bertandang ke rumahnya. Pembicaraan menggelinding ringan seputar PTSL, sambil menyeruput teh hangat, sementara tangan kanannya sibuk menggambar batas pedukuhan di atas peta.

“Bapak asli Sunda?”  tanya saya menyela.

“Hahahaha, pasti Pak Bambang terkecoh dengan nama saya. Enggak Pak, saya asli sini”. Matahari sudah setombak menjelang tenggelam. Adzan ashar usai berkumandang, dan sayapun pamit ke Base Camp. Sedangkan Pak Kades sepertinya akan bersibuk ria dengan persiapan pengukuran PTSL.

                                 

“Siap diukur nggih Pak?”, tanya saya pada suatu Senin, saat Kepala Dukuh berkumpul di Balai Desa untuk rapat rutin. Pertemuan itu sekaligus saya manfaatkan untuk koordinasi dan sosialisasi. Merekapun kompak menyanggupi. Suasana rapat saya kendalikan ke diskusi informal. Dan benar saja, berbagai tanya mengalir mbanyu mili. Semangat Kepala Dukuh yang ingin tahu lebih detil, tentu saja saya layani. Rupanya sejauh ini mereka baru tahu sebatas permukaan. Tugas sayalah untuk menggali lebih dalam. Menyelam hingga dasar, sampai ke akar.

“Lha kalau yang 1.500 bidang siap. Kalau tambahan 400 bidang mau sekalian diukur saat itu atau belakangan Pak Bambang”

“Diukur sekalian Pak. Ora mbolak mbalik. Mindhon gaweni” jelas saya

“Patok tambahan masih dicor, belum kering Pak Bambang”

“Pakai patok sementara dulu Pak Dukuh. Pakai bambu boleh, waton bedo karo pathok pring sing nggo nyencang sapi. Pokoknya dibuat gampang saja, jangan dipersulit”

“Oh, siaaappp”. Semangat Kepala Dukuh serentak menjawab. Binar dimata mereka yang terpancar mewakili gelora hati yang sangat ingin pengukuran berjalan lancar. Kalimat “pengabdian masyarakat” seolah ingin mereka terjemahkan dalam wujud dan tataran nyata, bukan sekedar slogan.

 

Sebelum pertemuan usai, seorang Kepala Dukuh berceletuk :

“Jangan lupa dulur-dulur, Pak Bambang rokoknya ini lho….” sambil mengangkat bungkus rokok. Halah.

Grup whatsap dibentuk, Pak Sekdes yang memfasilitasi. Memudahkan saya untuk memberitahukan jadwal pengukuran dari Dukuh satu ke Dukuh lain.

Sebelum beranjak, saya koordinasi dulu dengan Kasie Pemerintahan Bu Desty yang trengginas dan asistennya Bu Anjar yang energik. Ditangan kedua Srikandi itu, Daftar Nominatif tersusun rapi. Bahkan Kepala Dukuh sudah diberi beberapa Salinan. Untuk Pokmas dan untuk Juru Ukur. Upsh…. Luar biasa, Perangkat Desa Semanu benar benar solid mempersiapkan segala yang diperlukan untuk pengukuran. Tertib dan rapi. Well done ….Good work.

Hari pertama mengukur di ketiga Dukuh sekaligus, Sokokerep, Bendorejo dan Munggi Pasar. Cuaca terang, matahari terik memancar, hujan terusir jauh. Walhasil pengukuran berjalan lancar. Bahkan, pengukuran di Munggi Pasar sebanyak  54 bidang, tuntas di hari itu juga.

“Lho ? Pun rampit Pak Bambang? Saya pikir Munggi Pasar seminggu”  tanya Pak Tanto, Kepala Dukuh Semanu Tengah. “Wah jan Kopassus tenan ki…” lanjutnya memuji. Memang begitu kang, pengukuran dengan GPS cepat dan praktis, tidak narik-narik meteran lagi.

Warga yang bidangnya diukurpun tak kalah girang menyambut juru ukur kami. Itu adalah wujud rasa syukur mereka. Jika mengurus sertifikat sendiri, mereka tahu biayanya mahal dan agak lama. Makanya juru ukur kamilah yang kecipratan ungkapan rasa syukur itu. Sekurang-kurangnya minuman, terkadang aneka jajan atau rokok tidak pernah henti terhidang. Kami harus pandai pandai mengelola kapasitas perut agak muat menampung sajian yang terhidang dengan penuh rasa ikhlas.

Sebelas hari berlalu, seluruh 1.900 bidang tuntas kami ukur. Setelah bermandi lelah bersimbah peluh mendaki bukit, menelusuri bulak luas, tugas Kepala Dukuh dan Pokmas masih jua belum usai. Mereka masih harus berpenat penat menuntaskan Berkas Data Yuridis. Bertumpuk berkas, memenuhi sudut kamar, ruang tamu, atau bahkan di meja makan adalah pemandangan sehari hari di rumah mereka. Mengisi dan melengkapi berkas menjadi menu makanan para Kadus. Mau tak mau. Suka tak suka. Demikian pula Bu Desty, Bu Anjar beserta jajarannya tak kalah kalang-kabutnya. Hari hari santai mereka terpangkas. Jarang bisa melihat matahari di rumah karena harus pulang larut.

Tapi percayalah dulur dulur, siapapun yang menanam pasti akan menuai.  Rasa lelah berkepanjangan, kejenuhan otak yang lama terperas dan rasa mual tiap hari melihat tumpukan map biru, akan segera sirna manakala kita lihat senyum ceria warga, manakala kita tatap binar mata bahagia mereka menerima sertifikat tanah. Nah, jangan pernah merasa penat. Tetap semangat.

 

Ir. Bambang Gatot Nugroho

Koordinator Pengukuran PTSL Gunung Kidul 3,4

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung